Lecture Bersama Didik Nini Thowok

Lecture Bersama Didik Nini Thowok – Di dalam seni pertunjukan, seorang pemain laki-laki memerankan tokoh perempuan, atau sebaliknya seorang perempuan memerankan tokoh laki-laki merupakan satu keniscayaan—dengan berbagai macam alasan. Bahkan, tradisi yang dinamai lintas gender atau cross–gender ini adalah salah satu tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu di seluruh belahan dunia.

Lecture Performance (ceramah-pertunjukan) ini adalah bagian dari SIPFest (Salihara International Performing–arts Festival) 2018. Yaitu program yang digelar oleh Komunitas Salihara setiap dua tahun pada tahun genap, dan berlangsung selama satu bulan penuh. judi online

Di Lecture Performance ini, Didik Nini Thowok, yang nama aslinya Didik Hadiprayitno, selain berkisah mengenai tradisi lintas gender dalam seni pertunjukan di Indonesia, juga memeragakan tarian dari tradisi cross–gender. sbobet88

Menurut Didik, lewat makalahnya yang berjudul “Tradisi Lintas Gender dalam Seni Pertunjukan di Indonesia”, tradisi cross–gender ini ada di seluruh belahan dunia, baik di Asia, Eropa, dan Amerika.
Sebagai seniman yang memopulerkan seni (tari) lintas gender sekaligus pelaku, Didik Nini Thowok juga belajar tradisi cross–gender dari negara lain. Lewat tari, setidaknya, ia telah mengunjungi 38 negara. www.mrchensjackson.com
Tradisi cross–gender di Eropa, pada abad 14-18, dikenal dengan Commedia dell’arte. Sementara di Jepang ada drama Kabuki yang semua pemainnya laki-laki, dan Nihon Buyo, tari tradisi yang awalnya ditarikan laki-laki yang memerankan perempuan. Juga ada teater Takarazuka yang semua pemerannya adalah wanita. Begitu pula di India, ada tari Kathakali, Kuchipudi, Seraikella (seni tari memakai topeng), dan Gothipua.
Di Tiongkok, Cina, ada Yueju Opera yang semua pemainnya wanita dan memerankan karakter laki-laki serta wanita. Di negara Asia lainnya, seperti Thailand dan Kamboja juga ada tradisi cross–gender ini.
Amerika bahkan memiliki Trockadero Ballet, grup tari cross–gender yang sangat profesional. Semua pemainnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dan laki-laki, dalam pertunjukan yang bersifat komedi.
Tradisi cross–gender ini, tulis Didik di makalahnya, juga ada di dalam seni tradisi di Indonesia dari zaman dulu.

Penyebutan untuk istilah cross–gender di Indonesia, sangat lokal. Tiap-tiap daerah memiliki istilah sendiri. Contohnya, di Jawa Timur dikenal dengan istilah Pawestren. Di Bali ada beberapa istilah, seperti Bebancihan, Arja Muani, Gambuh Muani. Di Sulawesi Selatan ada Bissu, dan di Padang dikenal sebutan Ronggeng atau Biduan.
Topeng Cirebon, menurut Didik, merupakan salah satu seni pertunjukan di masyarakat yang mempraktekkan tradisi cross–gender. Topeng Cirebon berasal dari beberapa desa, dan masing-masing mempunyai gaya tari Topeng yang berbeda, seperti Palimanan, Indramayu, Losari, Selangit, Gegesik Kreo. Karakter topeng ini bersumber dari Cerita Panji, yang populer ada lima karakter, yaitu Panji, Pamindo, Tumenggung, Klana, dan Rumyang.
Mayoritas penari Topeng Cirebon adalah perempuan. Maka bisa digolongkan sebagai salah satu seni cross–gender karena karakter topeng yang ditampilkan adalah tokoh atau karakter laki-laki.
Juga ada kesenian rakyat Wari Lais atau Laesan yang berciri cross–gender. Kesenian ini bisa ditemui di daerah Cirebon, Cilacap, Lasem/Rembang. Di kesenian ini ada unsur kesurupan dan mistik. Sayangnya intensitas pertunjukan ini sudah mulai berkurang.
Di Banyumas ada Ronggeng atau Tayub yang kemudian disebut Lengger Banyumas yang biasa diperankan oleh laki-laki dan perempuan. Ciri khas pertunjukan Lengger, yaitu pada bagian akhir sering ditampilkan Tari Baladewan, karakter laki-laki yang diperankan oleh penari Lengger perempuan, yang merangkap sebagai penyanyi.

Selain itu, menurut Didik, masih ada tradisi cross–gender lainnya, seperti Topeng Lengger Wonosobo. Di daerah Malang ada Ludruk, Topeng Malang, dan Beskalan Putri Malangan. Kota Banyuwangi, yang terletak di ujung timur Pulau Jawa dikenal dengan tarian Gandrung. Di Bali tradisi cross–gender dapat dijumpai dalam seni drama Gambuh, Arja, dan tari lepas yang biasanya menggunakan istilah Bebancihan seperti di tari Trunajaya, Panji Semirang, Wiranata, dan Margapati.
Sementara di Padang, Sumatera Barat ada Dramatari Randai dan Ronggeng. Di kesenian ini karakter wanita diperankan oleh laki-laki. Salah satu alasannya, tulis Didik di makalahnya, pertunjukan Randai biasanya diselenggarakan semalam suntuk di lapangan luas. Kalau wanita terlibat pertunjukan sampai pagi akan membuat kesan yang negatif, tidak sopan dan bahaya. Karena itu karakter wanita lantas diperankan oleh laki-laki, yang disebut Biduan.
“Pakai kacamata khasnya, kacamata hitam. Jadi sebenarnya atribut kacamata hitam itu ada di dalam Randai, ada di dalam kesenian Lengger di Jawa Tengah, Jawa Barat. Ada di kesenian Topeng. Jadi Topeng Cirebon itu dulunya, Tumenggung itu pakai kacamata hitam tarinya. Khusus karakter Tumenggung,” jelas Didik.
Tradisi yang mirip Randai yaitu Ronggeng dari Pasaman. Ronggeng memiliki dua arti. Pertama, sebagai bentuk kesenian tari atau seni pertunjukan, dan kedua berarti karakter wanita yang diperankan laki-laki. Ronggeng adalah percampuran Budaya Sumatera dan Jawa, dan biasanya diadakan di perkebunan karet di Pasaman oleh komunitas pekerja perkebunan dari Jawa.
Di Sulawesi Selatan, Bissu adalah pendeta laki-laki cross–gender dari suku Bugis. Fungsi Pendeta Bissu berbeda dengan tradisi cross–gender lainnya, karena Bissu melakukan tradisi ritual dan upacara sakral. Mereka berdandan laki-laki tapi bersuara perempuan.

Menurut Didik, tradisi lintas gender ini juga ada di lingkungan istana. Terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Langendriyan adalah salah satu bentuk seni cross–gender dalam drama tari dan nyanyi yang sering disebut sebagai Opera Jawa. Langendriyan popular pada zaman Sultan HB VII-VIII di Yogyakarta, dengan cerita Minakjinggo dan Damarwulan, dan dikenal juga di Istana Mangkunegaran Surakarta.
Juga ada Wayang Wong yang bersumber dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Di Istana Yogyakarta, Wayang Wong mencapai puncak keemasannya di zaman HB VII-VIII, dan semua pemainnya adalah laki-laki. Sedangkan di Surakarta, untuk Wayang Wong hanya peran tertentu, seperti Arjuna, Abimanyu dan lainnya, biasanya diperankan oleh wanita.
Didik berpesan kepada para penari, terutama para penari cross–gender, untuk menunjukkan teknik yang bagus, jangan asal berdandan perempuan dan lantas menari yang lucu-lucu.